Manusia pada zaman ini
adalah sebagai berikut :
a. Pithecanthropus Erectus
b. Homo Wajakensis
c. Meganthropus paleojavanicus
d. Homo Soliensis
Pithecanthropus
Erectus
Nama manusia purba ini berasal dari
tiga kata, yaitu pithecos yang berarti kera, anthropus yang berarti manusia,
dan erectus yang berarti tegak. Jadi Pithecanthropus Erectus berarti “manusia
kera yang berjalan tegak”. Nama
sebutan itu didasarkan pada fosil
yang ditemukan. Penemuan ini berupa tulang paha yang lebih besar dibandingkan
tulang lengan. Demikian juga volume otaknya lebih besar dari pada kera, tetapi
lebih kecil dari pada manusia.
Fosil ini ditemukan oleh seorang
ahli purbakala dari negara Belanda yang bernama Eugene Dudois. Fosil manusia
purba ini ditemukan di Desa Trinil, Ngawi, Jawa Timur tahun 1891. Fosil sejenis
juga ditemukan di Desa Jetis Mojokerto di lembah Kali Brantas tahun 1936.
Karena temuan itu berupa fosil anak-anak, oleh Weidenreich dinamakan
Pithecanthropus Robustus. Von Koenigswald menamakannya Pithecanthropus
Mojokertensis, karena ditemukan di Mojokerto.
Homo Wajakensis
Pada tahun 1889, manusia Wajak
ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst
di barat laut Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo
(dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang
bawah, dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu adalah Homo sapiens
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- Mukanya datar dan lebar,
- akar hidungnya lebar dan bagian
mulutnya menonjol sedikit.
- Dahinya agak miring dan di atas
matanya ada busur kening nyata.
Tengkorak ini diperkirakan milik
seorang perempuan berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak
kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa
fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang
paha dan tulang kering.
Pada tengkorak ini terlihat juga
busur kening yang nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata.
Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi yang besar pula.
Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang pahanya
dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid.
Diperkirakan dari manusia Wajak
inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras
Austromelanesoid sekarang. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang
sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap
tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena
sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping.
Beberapa ciri lain juga
memperlihatkan ciri-ciri ke dua ras di atas. Temuan Wajak menunjukkan pada kita
bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens
yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang,
sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri.
Manusia Wajak tidak langsung
berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo neanderthalensis
yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo neanderthalensis di tempat
Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo
yang ditemukan di Indonesia.
Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras Melayu-Indonesia.
Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras Melayu-Indonesia.
Hubungannya dengan ras Australoid
dan Melanesoid sekarang lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai
bentuknya yang sekarang di tempatnya yang baru. tetapi memang mungkin juga
bahwa ras Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak.
Meganthropus Paleojavanicus
Meganthropus Paleojavanicus - Berbagai jenis fosil manusia purba telah ditemukan di
Indonesia. Antara lain di Jawa, Sumatra Utara, Aceh, Flores, Sulawesi Selatan
Bahkan di Kalimantan Selatan. Namun penemuan fosil manusia banyak terdapat di
Pulau Jawa, terutama di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo. Jenis-jenis
manusia purba yang ditemukan di Indonesia Antara lain Pithecanthropus Erectus,
Homo, dan yang akan saya bahas kali ini, yaitu Meganthropus Paleojavanicus.
Meganthropus Paleojavanicus adalah manusia purba yang tertua di Indonesia.
Meganthropus Paleojavanicus berasal dari kata-kata berikut ini:
- Mega yang artinya adalah "besar".
- Anthropus yang artinya adalah
"manusia".
- Paleo yang artinya adalah
"paling tua/tertua".
- Javanicus yang artinya adalah
"Jawa".
Jadi Meganthropus Paleojavanicus
artinya adalah "manusia bertubuh besar yang paling tua dari Pulau
Jawa". Meganthropus Paleojavanicus diperkirakan hidup pada dua juta tahun
yang lalu. Ciri-ciri Meganthropus Paleojavanicus adalah sebagai berikut:
- Memiliki tulang rahang yang
kuat
- Tidak memiliki dagu
- Menunjukkan ciri-ciri manusia
tetapi lebih mendekati kera.
- Berbadan besar dan tegap
Fosil
Meganthropus Paleojavanicus ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1936 di
daerah Sangiran, Sragen, Jawa Tengah. Oleh karena temuan-temuan dari fosil
Meganthropus ini masih sangat sedikit, maka sukar menempatkan dengan pasti
kedudukannya dalam evolusi manusia dan hubungannya dengan
Pithecanthropus.
Homo Soloensis
Homo Soloensis
Sejarah Homo Soloensis dan Ciri-ciri Homo Soloensis
Pada tahun 1931-1934, von Koeningswald dan Weidenrich menemukan fosil-fosil manusia purba di lembah Sungai Bengawan Solo di dekat Desa Ngandong. Jenis manusia purba dari lembah Bengawan Solo tersebut dinamakan Homo Soloensis atau manusia dari Solo. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ternyata manusia purba jenis Homo Soloensis lebih tinggi tingkatannya dari pada Phitecanthropus Erectus.
Bahkan, sebagian para ahli menggolongkan ke dalam kelompok Homo Neanderthalensis, yang merupakan manusia purba jenis Homo Sapiens dari daratan Eropa yang sama-sama hidup di lapisan Pleistosen Atas. Menurut para ahli, Homo Soloensis dan Homo Neandhertalensis merupakan hasil evolusi dari Pithecantropus Mojokertensis. Berdasarkan penelitian fosil-fosil yang ditemukan, Homo Soloensis mempunyai ciri-ciri, antara lain sebagai berikut.
Ciri-ciri Homo Soloensis
Bahkan, sebagian para ahli menggolongkan ke dalam kelompok Homo Neanderthalensis, yang merupakan manusia purba jenis Homo Sapiens dari daratan Eropa yang sama-sama hidup di lapisan Pleistosen Atas. Menurut para ahli, Homo Soloensis dan Homo Neandhertalensis merupakan hasil evolusi dari Pithecantropus Mojokertensis. Berdasarkan penelitian fosil-fosil yang ditemukan, Homo Soloensis mempunyai ciri-ciri, antara lain sebagai berikut.
Ciri-ciri Homo Soloensis
- Otak kecilnya lebih besar daripada otak kecil Pithecanthropus Erectus.
- Tengkoraknya lebih besar daripada Pithecanthropus Erectus dengan volumenya berkisar 1.000-1.300 cc.
- Tonjolan kening agak terputus di tengah (di atas hidung).
- Berbadan tegap dan tingginya kurang lebih 180 cm.