Senin, 21 Maret 2016

Tradisi Megengan Menyambut Ramadhan di Malang Jawa Timur

Sebelum memasuki bulan Ramadhan, ada sebuah tradisi berbagi makanan yang biasa dilakukan masyarakat, khususnya umat muslim di Jawa Timur. Megengan, sebagian Ngalamers pasti mengenalnya.
Ajaran umat Islam untuk saling memaafkan menjelang bulan Ramadhan, diimplementasikan oleh sebagian masyarakat Jawa dengan berbagi makanan, sebagai simbol agar dalam menjalani bulan suci tidak ada beban dosa antar sesama manusia.
Dalam beberapa referensi disebutkan, "Megengan" adalah sebuah bentuk akulturasi budaya antara Islam dan Jawa yang berkembang pesat di tanah Jawa. Simbol hubungan sosial antar tetangga dan sesama umat Islam pada umumnya yang sudah dilakukan turun temurun.

Namun perlahan, tradisi ini mulai ditinggalkan Ngalamers. Masyarakat yang kian modern dan gaya hidup 'instan' dinilai cukup memberi pengaruh signifikan terhadap memudarnya budaya Megengan.

"Kalau dilihat tradisi Megengan ini masih ada, namun sudah berkurang volumenya di masyarakat," ungkap Dwi Cahyono, Pengamat Budaya asal Kota Malang. (25/6).

Pola tradisi Megengan yang ada saat ini juga terpengaruh oleh pola hidup masyarakatnya. Seperti cara perayaannya, di mana pada zaman dahulu, pelaku Megengan ini seringkali mengolah sendiri masakannya untuk selanjutnya dibagikan.

"Saat ini karena mengambil praktisnya, mereka memilih untuk pesan atau katering, benar tidak mengurangi rasa silaturahmi, namun mengurangi maksud dan tujuan awalnya," tutur Dwi.

Dwi menambahkan, di Kota Malang, budaya Megengan dikenal karena pengaruh akulturasi budaya dari Kerajaan Islam Demak yang masuk ke Jawa Timur melalui Pacitan dan Blitar.

"Tradisi Megengan ini ada yang memang di suatu daerah kuat sekali memegangnya, ada yang tidak, untuk wilayah Malang, tradisi ini sangat kuat," pungkasnya.

Minggu, 20 Maret 2016

Perbedaan Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati

Syarif Hidayatullah adalah putri Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda'im, puteri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma'illiyah Saudi Arabia. Mereka mempunyai dua putera, Syarif Nurullah yang melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) dan Syarif Hidayatullah yang bersama ibunya kembali ke tanah Jawa sepeninggal Maulana Ishaq Syarif Abdillah.

Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.

Sedangkan Fatahillah yang biasa disebut Faletehan atau Kyai Fathullah adalah seorang ulama dari Pasai Aceh yang hijrah ke Demak. Ia kemudian diangkat Raden Patah sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis untuk mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa.

Dalam buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan Kompas, disebutkan juga bahwa setelah wafatnya Sultan Trenggana, Ratu Ayu yang merupakan putri Syarif Hidayatullah menikah dengan Fatahillah. Jadi bisa dikatakan Fatahillah merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah.

Bukti lainnya adalah makam Fatahillah yang terletak di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, sedangkan Fatahillah wafat 2 tahun setelahnya.