Bung Tomo adalah salah
satu pahlawan saat masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah
seorang orator pembangkit semangat ark-arek Suroboyo pada pertempuran 10
Novembe 1945. Beliau lahir di Blauran, Surabaya pada 3 Oktober 1920. Beliau
berasal dari kelas menengah ke atas, Ayahnya Kartawan Tjiptowidjojo dan ibunya
adalah seorang ibu rumah angga keturunan Madura, Sunda, dan Batak. Beliau
pernah menjadi anggota Sarekat Islam sebelum pindah ke Surabaya.
Semasa muda Beliau
dikelilingi dengan keluarga yang jujur dan penuh semangat. Pada usia 12 tahu
beliau sekolah di MULO tetapi terpaksa putus sekolah karena terkena depresi. Ia
aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI, menurut beliau filsafat kepanduan
da
n nasionalisme yang bersal dari kakeknya merupakan pengganti yang baik untuk
pendidikan formalnya. Sehingga, pada usia 17 tahun, beliau menjadi terkenal
karena dapat menjadi Pandu Garuda pada usia muda yang anya didapatkan oleh 3
orang pemuda Indonesia.
Semasa hidupnya ia
adalah jurnalis yang sukses. Beliau sempat bekerja mendjadi wartawan lepas di
Harian Soera Oemoem di Surabaya pada 1927. Setahun
kemudian, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan
dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939. Beliau mulai bergabung
dengan dunia poitik dan sosial setelah terpilih menjadi anggota GeraKan Rakyat
Baru pada tahun 1944.
Pada 19 September 1945 sebuah insiden terjadi di Hotel Yamato,
Surabaya. Sekelompok orang Belanda memasang bendera mereka. Rakyat marah.
Seorang Belanda tewas dan bendera merah-putih-biru itu diturunkan. Bagian biru
dirobek, tinggal merah-putih, yang langsung dikibarkan.
Di Jakarta, pasukan
Sekutu datang pada 30 September 1945. Para serdadu Belanda ikut rombongan.
Bendera Belanda berkibar di mana-mana. Saat itu, Bung Tomo masih berstatus
wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik
Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya pada saat itu.
Di Jakarta, Bung Karno
meminta para pemuda untuk menahan diri, tak memulai konfrontasi bersenjata.
Bung Tomo kembali ke Surabaya. "Kita (di Surabaya) telah memperoleh
kemerdekaan, sementara di ibukota rakyat Indonesia terpaksa harus hidup dalam
ketakutan," katanya seperti dicatat sejarawan William H. Frederick dari
Universitas Ohio, AS.
Pada bulan Oktober dan
November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang sangat penting, karena ia
berhasil menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada
waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat
untuk melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan
Eropa.
Pada 9 November
dikeluarkannya ultimatum yang ditunjukkan kepada para staf Gubernur Soerjo yang
berbunyi, pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus menyerahkan diri
paling lambat pukul 18.00 di hari itu dengan tangan di atas kepala. Kedua,
seluruh senjata harus diserahkan. Lalu, pembunuh Mallaby menyerahkan diri. Jika
kedua hal tersebut diabaikan, Sekutu bakal mulai menyerang pada pukul 06.00
keesokan harinya. Seperti ultimatum terdahulu, pamflet berisi ultimatum disebar
lewat udara. Jika tidak dipatuhi, pada 10 November mulai pukul 06.00, Inggris
akan mulai menggempur.
Pertempuran di
Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator ulung di depan
corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara Inggris
dan NICA-Belanda.
Bismillahirrohmanirrohim..
Merdeka!!!
Saudara-saudara rakyat
jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya.
Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah
menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan
senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangan tentara Jepang. Mereka telah
minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah
minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih
tanda bahwa
kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara.
Di dalam
pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa
rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang
berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda
yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,
pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh
pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan mereka
masing-masing. Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.
Telah menunjukkan satu
pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga
mereka itu terjepit di mana-mana.
Hanya karena taktik
yang licik daripada mereka itu saudara-saudara. Dengan mendatangkan Presiden
dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk
memberhentikan pertempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri.
Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.
Saudara-saudara kita
semuanya. Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima
tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di
Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan
jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini
tentara Inggris.
Ini jawaban kita. Ini
jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.
Hai tentara Inggris !
Kau menghendaki bahwa
kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita
mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata2 yang
telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu
walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur
kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita. Selama banteng-banteng
Indonesia masih mempunyai darah merah. Yang dapat membikin secarik kain putih
merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada
siapapun juga.
Saudara-saudara rakyat
Surabaya, siaplah keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan
sekali lagi. Jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, Maka kita akan
ganti menyerang mereka itulah kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar
orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita
saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur
lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin
saudara-saudara.
Pada akhirnya pastilah
kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang
benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu
Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!
Bung Tomo sempat
terjun dalam dunia politik pada tahun 1950, dan kemudian menghilang dari
panggung politik karena ia tidak merasa bahagia terjun di dunia politik. Pada
akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula
didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.
Pada awal tahun 1970,
ia kembali dan mempunyai pandangan pendapat yang berbeda dengan pemerintahan
Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program yang dijalankan
oleh Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia
yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras tersebut. Baru setahun
kemudian ia dilepaskan oleh Suharto.
Pada 7 Oktober 1981
Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah, saat sedang menunaikan ibadah haji.
Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam
ziarah ke tanah suci yang harus dimakamkan di tanah suci, tapi jenazah Bung
Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam
Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.